Etika Terhadap Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam

Etika Terhadap Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam.

Al-Iraqiy rahimahullah mengatakan, 

الأدب مع أقوال النبي صلى الله عليه وسلم بعده كالأدب معه في حياته سمعه يتكلم

“Etika terhadap perkataan (hadits) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau tak ubahnya seperti etika ketika mendengar beliau berkata-kata semasa hidup.” [Tharh at-Tatsrib fi Syarh at-Taqrib]

Penjelasan Etika Terhadap Hadits

Seandainya setiap orang memperhatikan etika yang agung ini tentu pandangan, penerimaan, dan pemuliaan terhadap perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berubah setiap kali mendengarkannya. 

Akan sulit terbayang setiap orang yang diberi taufik untuk memiliki etika dan perasaan tersebut akan serta-merta keluar, nylonong begitu saja tanpa alasan ketika penceramah tengah berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda…”

Tidak pula ia akan mengutamakan perkataan orang lain di atas perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, betapa pun tingginya kedudukan orang itu. 

Tidak pula ia bimbang mengikuti petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meski hal itu menyelisihi hawa nafsu, perasaan, dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat. 

Allah Ta’ala berfirman, 

 أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [al-Hujurat : 1]

Artinya, janganlah kalian berucap sebelum beliau berucap; janganlah kalian mengeluarkan perintah sebelum beliau memerintahkan; janganlah kalian berfatwa sebelum beliau berfatwa; janganlah memutus suatu perkara hingga beliau sendiri yang menetapkan dan memberlakukan. Kesimpulannya, janganlah kalian menyatakan suatu perkataan dan perbuatan sebelum Rasullulah berkata dan berbuat.

Allah Ta’ala juga berfirman, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” [al-Hujurat : 2]

Jika sekadar meninggikan suara melebihi suara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menghapus pahala amal shalih, kiranya bagaimana jika mengedepankan dan mengunggulkan pendapat, logika, perasaan, kebijakan, dan pengetahuan pribadi atas ajaran agama yang Nabi sampaikan?! Bukankah perbuatan itu lebih utama menghapus dan menggugurkan pahala amal shalih?! [I’lam al-Muwaqqi’in 1/54]

Sumber: Belajar Tauhid.

Baca juga:

Silakan dibagikan:

Leave a Comment