Dakwah, Hijrah, Sabar dan Syukur

Dakwah, Hijrah, Sabar, dan Syukur

Ada faedah bagus untuk kehidupan yang bisa kita dapatkan dari ayat berikut:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَىٰ بِـَٔايَٰتِنَآ أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ وَذَكِّرْهُم بِأَيَّىٰمِ ٱللَّهِ ۚ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”.” [Q.S. Ibrahim: 5]

Frase : [أَيَّىٰمِ ٱللَّهِ] diterjemahkan pada umumnya dengan ‘hari-hari Allah’.

Lalu Apa Maksudnya?

Ibnu Jarir ath-Thabary meriwayatkan dengan sanad yang dinilai tidak shahih oleh ulama, Nabi Muhammad menafsirkannya dengan ‘kenikmatan-kenikmatan (dari) Allah Azza wa Jalla.” Kendatipun begitu, tafsiran inilah yang populer di kalangan salaf. Beliau sendiri menyitir beberapa sanad tersambung ke sebagian ahli tafsir kalangan salaf yang menegaskan bahwa maknanya adalah ‘nikmat’. Mujahid, Sa’id bin Jubair dan Qatadah menyebutnya begitu.

Dalam salah satu jalur riwayat penafsiran dari Mujahid, beliau merinci maksud dari nikmat-nikmat atas Bani Israil sebagai contoh, dengan berkata:

أنجاهم من آل فرعون، وفَلَق لهم البحر، وظلَّل عليهم الغمَام، وأنزل عليهم المنَّ والسَّلوَى.

“Allah telah menyelamatkan mereka dari bala tentara Fir’aun, membelah lautan untuk mereka, menaungi mereka dengan awan/mendung dan menurunkan untuk mereka al-Mann dan as-Salwa.” [Jami’ al-Bayan, 16/521]

Baca juga: Manhaj Salaf Sabar Dalam Belajar, Beramal dan Berdakwah

Sebagian dari yang disebutkan oleh beliau memang Allah sebutkan di ayat setelahnya.

Namun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memperlebar penafsiran, dengan menyebutkan tentang ‘ayyam Allah’:

هِيَ تَتَنَاوَلُ أَيَّامَ نِعَمِهِ وَأَيَّامَ نِقَمِهِ لِيَشْكُرُوا وَيَعْتَبِرُوا

“Ia mencakup hari-hari kenikmatan (dari Allah) dan hari-hari kesengsaraan (dari Allah) agar mereka bersyukur dan mengambil pelajaran.” [Majmu’ al-Fatawa, 16/194]

Berarti, makna ‘hari-hari Allah’ secara luas adalah ‘masa lampau yang indah dan juga yang sulit’.

Tapi di sini faedah tarbawiyyah yang bisa kita dapatkan adalah hendaknya seorang dai mencontoh Nabi Musa dalam berdakwah. Ini berlaku bagi seorang ayah kepada anak istrinya, seorang ibu kepada anaknya, seorang pemimpin kepada rakyatnya, terlebih seorang pemuka agama kepada kaum dakwahnya.

Allah perintahkan:

  1. Keluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.
  2. Ingatkan mereka akan kenikmatan dan kesengsaraan masa lalu.

1. Dalam Berdakwah, Tujuannya Menghilangkan Hal Negatif Menuju Positif

Yang pertama: dalam berdakwah, tujuannya adalah menghilangkan hal negatif menuju positif, seperti kejahilan dihilangkan sehingga menjadi alim (mengetahui), kenakalan dihilangkan menjadi baik, kelalaian dihilangkan menjadi dzakir (orang yang mengingat Allah). Ketika seorang dai tidak memiliki tujuan mengangkat kejahilan, atau memperbaiki keadaan sesuai keinginan Allah, maka mestilah niatannya melenceng.

Lebih buruk lagi jika mengajak hijrah namun secara hakekat bukan hijrah dari kejahilan menuju alim, melainkan dari kejahilan menuju yang semisal atau lebih jahil lagi. Semua orang tahu hijrah dari TV swasta menuju YouTube adalah hijrah fulus dan duniawi. Dikiaskan seperti itu. Jika ingin hijrah secara hakiki, maka ada 4 kriteria wajib yang harus dihijrahkan, yakni:

1. Hijrah dari syirik (besar atau kecil) menuju murni tauhid
2. Hijrah dari bid’ah menuju murni sunnah
3. Hijrah dari maksiat menuju taat dan taubat
4. Hijrah dari amoralitas menuju akhlak karimah

Syirik, bid’ah, maksiat dan amoralitas adalah kegelapan-kegelapan (الظلمات), sementara tauhid, sunnah, ketaatan dan akhlak adalah cahaya kesatuan yang diajarkan dalam Islam (النور). Untuk menyingkirkan syirik, bid’ah, maksiat dan amoralitas memerlukan ilmu yang benar. Itu ada pada al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, serta pandangan salaf dan para pengikut mereka.

Inilah baru yang disebut hijrah secara hakiki. Jika satu saja kategori di atas tidak dipenuhi, maka ke depannya ada kejanggalan. Sebagian berjalan di tempat. Sebagian berjalan mundur bahkan walau merasa maju. Namun semoga Allah merahmati semua dai yang berdakwah di hadapan kaum Muslimin dan memberi mereka hidayah.

Baca juga: Dakwah Pertama adalah Dakwah Tauhid

2. Ingatkan Mereka akan Kenikmatan dan Kesengsaraan Masa Lalu

Yang kedua (dari perintah Allah di ayat tersebut): ingatkan mereka akan kenikmatan dan kesengsaraan masa lalu.

Lalu Allah Ta’ala menyebutkan:

إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍۢ لِّكُلِّ صَبَّارٍۢ شَكُورٍۢ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.”

Ada dua karakter yang dipuji di ayat ini, yaitu karakter sabar dan karakter syukur. Maka Syaikhul Islam berkata:

فَإِنَّ ذِكْرَ النِّعَمِ يَدْعُو إلَى الشُّكْرِ؛ وَذِكْرَ النِّقَمِ يَقْتَضِي الصَّبْرَ عَلَى فِعْلِ الْمَأْمُورِ وَإِنْ كَرِهَتْهُ النَّفْسُ. وَعَنْ الْمَحْظُورِ وَإِنْ أَحَبَّتْهُ النَّفْسُ

“Sesungguhnya mengingat kenikmatan mengantarkan pada rasa syukur. Mengingat kesengsaraan mengantarkan kepada rasa sabar dalam melakukan hal yang diperintahkan walaupun jiwa kurang menyukainya dan (rasa sabar) daripada melakukan hal yang terlarang meskipun jiwa menyukainya.” [Majmu’ al-Fatawa, 16/194]

Yang diajarkan berarti ada dua hal besar:

  1. ILMU berupa materi pelajaran, seperti aqidah, tafsir, hukum dan kaedah-kaedah agama. Ini semua adalah cahaya [النور].
  2. KABAR berupa kisah-kisah lampau dari sejarah atau sirah, maupun kisah-kisah kehidupan manusia yang memiliki ibrah, dan kisah-kisah akhir zaman serta hari Kiamat.

Dalam bidang ilmu (materi pelajaran), seorang dai dituntut untuk benar dalam berilmu dan menyampaikannya.

Dalam bidang kabar, seorang dai dilarang berdusta.

Hijrah Harus Berdasar Ilmu yang Shahih

Hijrah, harus berdasarkan ilmu yang shahih dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah bermanfaat. Seorang yang hijrah, ia akan senantiasa bisa bersyukur diberi hidayah dan bersabar di atas Sunnah, ketika memang kehidupannya dilandasi ilmu dan kabar yang shahih.

Semoga bermanfaat. Baarakallahu fiikum.

Ditulis oleh Ustadz Hasan al-Jaizy

Silakan dibagikan:

Leave a Comment