Hukum Tunangan Dalam Islam

Hukum Tunangan Dalam Islam.

Sebelum kita membahas tentang hukum, kita perlu definisikan dulu apa itu tunangan?

Definisi Tunangan

Dalam KBBI: “Tunang : calon istri atau suami”. Karena tunangan ini juga identik dengan budaya barat. Maka perlu kita tampilkan juga definisinya menurut mereka. Tunangan atau engagement dalam Cambridge Dictionary artinya: “an agreement to marry someone” (suatu perjanjian untuk menikahi seseorang).

Maka dari sini kita melihat bahwa definisi tunangan itu agak bias. Karena menurut definisi KBBI, semua orang yang sudah punya calon istri atau suami, maka bisa dikatakan sudah bertunangan. Sedangkan menurut definisi Cambridge Dictionary, orang dikatakan bertunangan jika sudah berjanji kepada seseorang untuk menikahinya.

Hukum Tunangan

Oleh karena itu, hukum tunangan perlu kita rinci:

Hukum Tunangan Pertama: Boleh Jika Maksudnya Seorang Lelaki Melamar Seorang Wanita Untuk Dinikahinya

Jika yang dimaksud dengan bertunangan adalah seorang lelaki melamar seorang wanita untuk menikahinya, maka tentu saja hukumnya boleh. Bahkan ini perkara yang disyariatkan.

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ

“Apabila seseorang di antara kalian ingin melamar seorang wanita, jika ia mampu melihat apa-apa yang dapat memotivasi untuk menikahi wanita tersebut, maka lakukanlah!” (HR. Abu Daud no.2082, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya melamar dan nazhor (melihat calon). Syaikh Abdullah bin Jibrin menjelaskan langkah-langkah melamar:

عليك أولاً السؤال عنها، وعن أخلاقها وصلاحها ومناسبتها، ثم بعد ذلك لك أن تتقدم إلى أهلها وترسل إليهم من يطلب منهم ذلك ثم إذا وافقوا فقد وافقت المرأة، ولك بعد ذلك طلب رؤيتها في غير خلوة

“Hendaknya anda menanyakan tentang wanita tersebut (kepada orang lain), yaitu tentang akhlaknya, keshalihannya, nasabnya. Setelah itu, anda datang kepada keluarganya dan utarakan kepada mereka bahwa anda ingin melamar anaknya. Setelah itu, jika orang tuanya setuju dan si wanita juga sudah setuju, maka hendaknya anda meminta untuk melihat wajah si wanita tersebut tanpa berdua-duaan” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 2/100, Asy Syamilah).

Dan seorang lelaki dikatakan sudah melamar atau sudah melakukan khitbah, jika ia sudah mengutarakan maksudnya kepada wali dari sang wanita. Karena para ulama mendefinisikan khitbah yaitu:

إظهار الرغبة في الزواج بامرأة معينة, وإعلام وليها بذلك

“Menunjukkan keinginan untuk menikahi seorang wanita tertentu dan menyampaikannya kepada walinya” (Al Fiqhul Muyassar, 1/293).

Adapun sekedar mengutarakan isi hati pada sang wanita, ini tidak dianggap melamar ataupun khitbah.

Hukum Tunangan Kedua: Jika Tunangan Adalah Berjanji Untuk Menikahi

Jika yang dimaksud dengan tunangan adalah berjanji untuk menikahi seorang wanita, maka perlu kita rinci lagi.

Jika perjanjian ini sekedar berjanji kepada walinya, tanpa ada ritual-ritual tertentu, maka ini sama dengan melamar atau khitbah pada poin pertama.

Namun jika disertai ritual-ritual tertentu, seperti tukar cincin dan semisalnya. Maka ini tidak diperbolehkan, karena ini merupakan budaya non Muslim. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

الدبلة التي تسأل عنها السائلة لا نعلم لها أصلًا والذي يظهر لنا من ذلك أن فيها تشبهًا بالكفرة؛ لأنها من عادتهم فيما بلغنا فلا ينبغي اتخاذها، فإن الإشارة إلى الزواج تكون بالخطبة والاتفاق بين الخاطب والمخطوب منهم ويكفي ذلك من غير حاجة إلى الدبلة

“Cincin kawin yang ditanyakan oleh penanya, kami tidak mengetahui asalnya. Menurut kami, dalam ritual tukar cincin tunangan ini terdapat unsur menyerupai orang-orang kafir. Karena sebagian orang menyampaikan kepada saya bahwa itu adalah adat orang kafir. Maka hendaknya tidak menggunakannya. Mengutarakan maksud untuk melamar, dan adanya kesepakatan antara lelaki yang melamar dan wanita yang dilamar, ini sudah cukup. Tidak butuh kepada cincin tunangan” (Mauqi’ Ibn Baz).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

الدبلة: هي عبارة عن خاتم يهديه الرجل إلى الزوجة ، ومن الناس من يلبس الزوجة إذا أراد أن يتزوج أو إذا تزوج ، هذه العادة غير معروفة عندنا من قبل ، وذكر الشيخ الألباني رحمه الله : أنها مأخوذة من النصارى، وأن القسيسيحضر إليه الزوجان في الكنيسة ويلبس المرأة خاتم في الخنصر وفي البنصر وفي الوسطى ، لا أعرف الكيفية لكن يقول : إنها مأخوذة من النصارى فتركها لا شك أولى ؛ لئلا نتشبه بغيرنا

“Cincin kawin adalah cincin yang dihadiahkan suami kepada istrinya. Sebagian orang, memakaikan cincin ini ketika hendak menikah (bertunangan) atau ketika menikah. Ini adalah adat yang tidak dikenal oleh kaum Muslimin terdahulu.

Dan Syaikh Al Albani mengatakan bahwa adat ini berasal dari orang-orang Nasrani. Yaitu pendeta didatangi oleh sepasang kekasih di gereja, lalu sang lelaki memakaikan cincin kepada sang wanita di jari kelingking atau di jari manis atau di jari tengah. Saya tidak mengetahui detail tata caranya. Namun Syaikh Al Albani mengatakan ini berasal dari orang-orang Nasrani. Maka tidak ragu lagi, meninggalkannya itu lebih utama. Agar kita tidak menyerupai orang-orang non Muslim” (Liqa Asy Syahri, 1/46).

‘Ala kulli haal, baik tunangan dalam definisi pertama maupun kedua, tetap saja dua orang yang bertunangan itu bukan mahram dan belum halal sama sekali dan tidak boleh bermuamalah layaknya suami istri. Perlu diperhatikan bahwasanya mereka tetap:

  • Tidak boleh bersentuhan
  • Tidak boleh pandang-pandangan, karena ini adalah zina mata
  • Tidak boleh berduaan
  • Tidak boleh rayu-merayu, atau komunikasi di luar kebutuhan, karena ini adalah zina lisan
  • Tidak boleh berfantasi dan membayangkan calonnya sehingga timbul syahwat, karena ini adalah zina hati
  • Tidak boleh berhubungan intim, karena ini tetap termasuk zina
  • Tidak boleh berfoto pre-wedding bersama (karena akan membawa pada poin-poin di atas)
  • Sang laki-laki belum ada kewajiban untuk memberi nafkah, menjaga, mendidik
  • Sang laki-laki belum ada hak untuk memberi perintah atau melarang-larang sang wanita
  • Sang wanita belum ada kewajiban untuk merawat dan melayani si laki-laki

Baca juga: Hukum Resepsi Pernikahan / Walimatul Urs

Selama Belum Terjadi Akad Nikah Lamaran atau Tunangan Boleh Dibatalkan

Dan perlu diketahui, bahwa selama belum terjadi akad nikah, maka lamaran atau tunangan BOLEH DIBATALKAN jika ada maslahat. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda:

َلا يَخْطُبْ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ ، أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

“Tidak boleh seorang lelaki mengkhitbah di atas khitbah saudaranya, sampai pelamar pertama meninggalkan (menolak atau ditolak) sang wanita atau pelamar pertama mengizinkan” (HR. Bukhari no. 5142, Muslim no. 1412).

Hadits ini menunjukkan bahwa boleh menolak dan membatalkan lamaran, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak wanita. Juga boleh membiarkan dua lelaki melamar satu wanita jika pelamar pertama mengizinkan. Padahal tentu yang diterima hanya satu.

Maka boleh saja membatalkan lamaran atau tunangan, misalnya jika baru mengetahui ternyata calon pasangan adalah orang yang bejat atau buruk agamanya. Atau merasa ada ketidak-cocokan. Atau karena sebab lainnya. Membatalkan lamaran atau tunangan itu lebih ringan daripada perceraian ketika sudah akad.

Demikianlah Hukum Tunangan semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam.

Join channel telegram @fawaid_kangaswad

Silakan dibagikan:

Leave a Comment